Rahasia Genetik Tubuh: Mengungkap Misteri Obesitas dalam Kode DNA Manusia
Estimasi waktu membaca : 3 menit
Dalam studi terbesar yang meneliti bagaimana faktor genetik mempengaruhi pilihan dan konsumsi makanan seseorang, tim peneliti yang berbasis di Boston telah mengidentifikasi lebih dari dua lusin rangkaian kode genetik yang dapat mempengaruhi asupan makanan seseorang. Penemuan ini kemudian diterbitkan dalam jurnal Nature Human Behavior, akan menjelaskan strategi pengobatan baru untuk mengekang epidemi obesitas.
“Rata-rata asupan nutrisi dan makanan harian, yang merupakan penyebab utama obesitas, sebagian dipengaruhi oleh genetika kita,” ujar Chloé Sarnowski, salah satu pemimpin penelitian. Tim peneliti—dari Boston University School of Public Health, Massachusetts General Hospital (MGH), dan institusi lainnya—mengatakan otak dipengaruhi oleh berbagai sinyal yang memengaruhi perilaku makan masyarakat dan mengatur keseimbangan energi tubuh.
Sinyal-sinyal tersebut akan mengontrol nafsu makan dan pengeluaran energi sebagai respons terhadap kadar hormon metabolisme dan nutrisi utama dalam darah. Oleh karena itu, variasi genetik dalam sinyal-sinyal ini dapat menyebabkan kelaparan ekstrem dan obesitas.
“Meskipun ada korelasi yang tinggi antara [genetika dan] pilihan makanan kita, sejumlah penelitian genetika telah mengintegrasikan informasi tentang [preferensi] nutrisi atau makanan yang berbeda,” kata Sarnowski, yang merupakan ahli biostatistik di Universitas Boston. “Kami bersama-sama menganalisis nutrisi utama yang dibutuhkan dan digunakan tubuh dalam jumlah besar—karbohidrat, protein, dan lemak—untuk lebih mengkarakterisasi wilayah genetik yang memengaruhi pilihan makanan kita.”
Dalam penelitian tersebut, Sarnowski dan kolaborator menganalisis gen dan memeriksa konsumsi makanan 282.271 peserta keturunan Eropa dari UK Biobank dan konsorsium Cohorts for Heart and Aging Research in Genomic Epidemiology (CHARGE).
Dari data tersebut, tim mengidentifikasi 26 wilayah genetik yang terkait dengan peningkatan preferensi terhadap makanan yang mengandung lebih banyak lemak, protein, atau karbohidrat. Di otak, gen-gen tersebut memengaruhi area khusus sel-sel otak, yang didistribusikan ke seluruh sistem saraf pusat, yang responsif terhadap protein, lemak, atau karbohidrat.
“Ketika [area otak tersebut] diaktifkan, hal ini mungkin menjelaskan mengapa orang lebih cenderung memilih makanan atau makanan dengan jumlah lemak, protein, atau karbohidrat yang lebih tinggi,” ucap Jordi Merino, salah satu penulis studi, yang merupakan peneliti di Unit Diabetes MGH dan Pusat Pengobatan Genomik dan instruktur Harvard Medical School.
Penemuan varian genetik ini dapat digunakan dalam penelitian masa depan untuk menentukan apakah komposisi makanan mempunyai hubungan sebab akibat dengan diabetes tipe 2, obesitas, dan penyakit lainnya. “Meskipun kita tahu bahwa komposisi makanan berhubungan dengan penyakit, hubungan sebab akibat lebih sulit dibuktikan,” kata rekan penulis senior Josée Dupuis, ketua dan profesor di Departemen Biostatistik BU School of Public Health.
Temuan ini menggarisbawahi mengapa perilaku konsumsi makanan berbeda-beda antar individu. Hasil ini juga membantu mengidentifikasi bagaimana genetik dapat mempengaruhi perilaku seseorang dalam pencegahan obesitas atau diabetes. Misalnya, jika seseorang memiliki kerentanan genetik yang lebih tinggi untuk memilih makanan berlemak, informasi ini dapat digunakan untuk membantu orang tersebut memilih makanan dengan jumlah lemak sehat yang lebih tinggi daripada merekomendasikan pendekatan diet lain yang mungkin membahayakan kepatuhan terhadap intervensi ini.
Referensi: